Fenomena jilbab akhir-akhir ini semakin marak. Gelombang fenomena ini semakin terasa pada kampus-kampus yang berkonotasi pada kam-pus "sekuler" atau "tidak Islami". Dalam satu sisi pandang, jelas ini merupakan suatu hal yang patut disyukuri. Karena, paling tidak ini menjadi suatu cermin korektif betapa kesadaran akan penghayatan keberagamaan secara lebih mendalam menjadi suatu kebutuhan yang esensial dalam menghadapi arus zaman sekarang ini.
Berjilbab, dalam tatapan ekologis dan kosmologis, merupakan suatu perlawanan dan penolakan terhadap perkembangan budaya asing yang mewabah di negeri ini. Dengan berjilbab, ada semacam proses identifikasi untuk menjadi Muslimah sejati.
Penulis The Tao of Islam, Sachiko Murata, men-jelaskan dengan sangat menarik perihal kepentingan kaum wanita Muslimah menutupi aurat mereka. Tulisnya, "Keindahan dan kecantikan Tuhan termanisfestasi dalam diri wanita. Semakin wanita tersebut menjaga keindahan dan kecantikannya, maka dalam tatapan kosmologis, wanita tersebut seolah-olah menutupi Keindahan dan Kecantikan Tuhan."
Sayang, kesadaran wanita yang berjilbab itu belum sampai ke arah seperti itu. Pada dataran praktis, masih banyak terjadi percampuran budaya Barat de-ngan budaya Islam. Ataupun, ketidakmampuan untuk mengendalikan keinginan diri. Misalnya, sebagian wanita sudah menge-nakan kerudung atau jilbab serta busana muslim, tapi bajunya terbuat dari kain yang tipis yang tentu saja mem-bentuk tubuhnya yang indah. Jelas, hal ini kurang memenuhi ke-sempurnaan perintah syariat.
0 comments:
Post a Comment